Bisnis.com, LUBUK ALUNG - Suara raungan gergaji mesin pernah begitu akrab di telinga warga Desa Salibutan, Kecamatan Lubuk Alung, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatra Barat. Setiap hari, satu per satu pohon di hutan lindung yang membentang di kaki Bukit Barisan I itu tumbang.
Batang-batang besar diangkut keluar, meninggalkan bekas luka di tanah dan ranting-ranting muda yang berserakan. Bagi sebagian masyarakat kala itu, menebang pohon adalah cara paling cepat untuk mendapatkan uang.
Namun, bayangan kelam itu kini berangsur tergantikan dengan warna hijau yang kembali meneduhkan. Hutan yang nyaris gundul perlahan tumbuh lagi. Sungai-sungai yang membelah desa tetap jernih, udara terasa sejuk, dan di sela-sela pepohonan, terselip pohon-pohon asam kandis buah khas Sumatra yang selama ratusan tahun tumbuh liar di kawasan ini.
Perubahan itu tak lepas dari sosok seorang anak muda desa yang pulang dari perantauan Ritno Kurniawan, lulusan Universitas Gadjah Mada (UGM). Berbekal kegelisahan melihat kampung halamannya semakin kehilangan hutan, dia memulai gerakan kecil yang kini menjelma jadi harapan baru, tidak hanya bagi kelestarian alam, tetapi juga ekonomi masyarakat.
Ritno masih ingat betul momen pulang kampung setelah menyelesaikan kuliah pada 2013. Kerinduan masa kecil membawanya melangkah ke hutan tempat ia biasa bermain dan mandi di sungai. Namun, yang ditemuinya jauh dari bayangan indah, potongan batang berserak, serbuk gergaji menutupi tanah, dan suara satwa hampir tak terdengar.
“Padahal hutan itu menyimpan sejuta kenangan masa kecil saya,” kenang Ritno, Senin (25/8/2025).
Hatinya tercekat, dia sadar, jika dibiarkan, hutan Salibutan bakal lenyap, meninggalkan tanah gersang dan sungai yang mengering. Bersama kegelisahan itu, muncul keyakinan, harus ada jalan lain agar masyarakat tetap bisa hidup tanpa merusak hutan.
Langkah awalnya adalah mengajak masyarakat bermusyawarah. Namun, ajakan itu sempat ditolak. Sebagian warga menertawakannya, menganggap mustahil meninggalkan sumber penghasilan utama: kayu. “Saya tahu risikonya, tapi kalau tidak ada yang memulai, hutan ini benar-benar akan habis,” ujar Ritno.
Pelan-pelan, dia mengubah strategi. Ritno tak hanya bicara soal larangan menebang, tetapi juga menunjukkan potensi baru. Penemuan Air Terjun Nyarai pada 2013 menjadi titik balik. Pesona alam yang masih terjaga itu membuktikan bahwa hutan bisa menghadirkan manfaat lain yakni pariwisata. Dari sana, kepercayaan masyarakat mulai tumbuh.
“Kalau dikelola, wisata ini bisa memberi penghasilan lebih besar daripada menebang kayu,” katanya.
Dari upaya dan perjalanan panjang Ritno ini, kemudian mendapat perhatian serius dari PT Astra International Tbk melalui program SATU Indonesia Awards. Persis pada tahun 2017 lalu, tokoh muda ini diberi penghargaan sebagai penerima apresiasi SATU Indonesia Awards di bidang lingkungan.