Bisnis.com, BATAM - Gubernur Kepulauan Riau (Kepri) Ansar Ahmad memastikan konflik antara warga dan aparat TNI-Polri di Pulau Rempang bukan disebabkan komunikasi yang buruk.
Ansar pun memastikan telah menggandeng Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Kepri dalam mencari format yang tepat menyelesaikan persoalan tersebut.
"Kami semua masih meraba-raba mencari format dan angka yang pas. Karena nanti Badan Pengusahaan [BP] Batam yang akan membelanjakan, jadi harus ada referensi hukum. Lalu setelah itu, kami akan sosialisasi dengan masif," kata Ansar di Batam, Rabu (13/9/2023).
Dia juga mengaku terus berkomunikasi dan berkoordinasi dengan pemerintah pusat untuk mencari solusi terbaik.
"Pemerintah pusat akan kirim fasilitator [Menteri Investasi] untuk berbicara dengan warga Rempang. Jadi satu demi satu yang jadi keraguan bisa dicari solusi bersama. Kami [Forkopinda] akan mengawal perjalanan tersebut," jelasnya.
Sebelumnya, Presiden Jokowi menyebut konflik relokasi warga di Pulau Rempang, Batam, Kepri, terjadi karena komunikasi yang kurang baik. Kemudian Jokowi menugaskan Menteri Investasi, Bahlil Lahadalia untuk memberikan penjelasan langsung kepada warga.
Baca Juga
Menurut Presiden, konflik antara aparat keamanan dan warga Rempang itu tidak seharusnya terjadi, jika warga setempat diajak bicara dan diberi solusi terlebih dahulu oleh BP Batam.
"Karena di sana sebenarnya sudah ada kesempatan bahwa warga akan diberi lahan 500 meter plus bangunan tipe 45, tetapi ini tidak dikomunikasikan dengan baik. Akhirnya menjadi masalah," kata Jokowi ketika ditemui di sela-sela kunjungannya ke Pasar Kranggot, Cilegon, Banten, Selasa (12/9).
Penyebab Konflik di Pulau Rempang Versi Mahfud MD
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengungkap pemicu sengketa lahan antara BP Batam dan warga Pulau Rempang, Kepulauan Riau.
Mahfud menuding adanya kekeliruan dalam penerbitan izin yang dilakukan pemerintah daerah di Pulau Rempang. Dia menjelaskan bahwa legalitas proyek pengembangan wisata lingkungan itu berawal dari adanya memorandum of understanding (MoU) antara BP Batam dan Pemerintah Daerah (Pemda) terkait dengan pengembangan kawasan wisata di pulau tersebut.
Sebelum 2004, pengembangan wisata di daerah tersebut sudah diputuskan pada sekitar 2001-2002 ketika pemerintah memberikan hak pengelolaan dan pengembangan lahan di Rempang kepada pengembang yakni anak perusahaan Grup Artha Graha milik Tomy Winata, PT Makmur Elok Graha (MEG).
Namun, setelah penandatanganan MoU tersebut, Pemda justru menerbitkan izin-izin kepada pihak lain sehingga terdapat kegiatan dan penghuni yang bertempat di kawasan tersebut. Untuk itu, otoritas melakukan pengosongan karena pengembangan kawasan wisata yang dimaksud akan dimulai.
"Izin-izin baru yang dikeluarkan sesudah MoU [dengan PT MEG] dibatalkan semua oleh Menteri LHK. Nah, di situ terjadi perintah pengosongan karena tahun ini akan masuk kegiatan-kegiatan yang sudah diteken 2004 sesuai kebijakan 2001, 2002," ujar Mahfud di Kompleks Istana Kepresidenan, Senin (11/9/2023).