Bisnis.com, PEKANBARU — Permasalahan perambahan kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) di Kabupaten Pelalawan, Riau, kembali disorot.
Ribuan warga masih bertahan di dalam kawasan hutan konservasi tersebut meski sebagian besar lahan sudah dinyatakan sebagai wilayah yang harus dikembalikan fungsinya.
Pakar hukum Riau, Aspandiar menilai pemerintah perlu bersikap lebih tegas dalam menangani para pelaku perambahan hutan. Dia mengingatkan TNTN merupakan rumah bagi satwa langka seperti gajah Sumatra dan harimau Sumatra yang kini terancam akibat alih fungsi hutan menjadi perkebunan.
“Satwa seperti gajah sumatra dan harimau sumatra itu dilindungi. Tapi rumah mereka dirambah dan dijadikan kebun sawit. Pemerintah harus tegas menindak pelaku perambah agar fungsi hutan bisa kembali,” ujarnya, Selasa (1/7/2025).
Lebih lanjut, Aspandiar menyoroti praktik pengembalian lahan sawit oleh pengusaha kepada negara seluas 401 hektare sebagai langkah yang justru berpotensi menciptakan preseden buruk.
“Sedap betul. Sudah merambah hutan jadi kebun sawit ratusan hektare, terus dikembalikan ke negara, urusan selesai. Bahkan digadang-gadangkan jadi pahlawan,” ujarnya.
Baca Juga
Menurutnya, praktik semacam ini mencederai semangat penegakan hukum dan menimbulkan kesan perambahan hutan bisa dimaafkan begitu saja jika lahan dikembalikan tanpa sanksi tegas.
Hal ini terjadi di tengah keberadaan Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) yang dibentuk pemerintah pusat melalui Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025. Meski keberadaan satgas tersebut dinilai sebagai bentuk keseriusan pemerintah dalam menjaga kawasan hutan, hasil di lapangan masih jauh dari harapan.
“Kalau hasilnya cuma pengembalian lahan secara sukarela lalu dianggap selesai, publik wajar bertanya buat apa dibentuk Satgas PKH, dianggarkan besar, kalau hukum hanya berhenti sampai di situ?” katanya.
Tercatat lebih dari 40.000 hektare kawasan TNTN telah dirambah, sebagian besar berubah menjadi perkebunan sawit dan pemukiman. Beberapa waktu lalu, Satgas PKH sempat melakukan penertiban dan meminta warga untuk meninggalkan kawasan dalam waktu tiga bulan. Namun, permintaan ini ditolak dengan alasan sebagian warga merasa memiliki hak atas lahan yang mereka beli.
Situasi ini mencerminkan kompleksitas permasalahan di lapangan, di mana perlindungan lingkungan sering kali berbenturan dengan kepentingan sosial dan ekonomi.
Aspandiar menegaskan kunci keberhasilan konservasi bukan hanya pada regulasi, tetapi juga pada komitmen dan keberanian pemerintah menegakkan hukum tanpa pandang bulu.
“Ini soal keberanian negara menjaga rumah satwa langka kita. Kalau hukum hanya jadi dokumen, bukan tindakan, kita kehilangan bukan hanya hutan, tapi juga keadilan,” pungkasnya.