Bisnis.com, MEDAN – Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) Sumatra Utara (Sumut) merespons rencana Kementerian Pertanian untuk mengonversi 2,7 juta hektare lahan karet menjadi perkebunan sawit.
Sekretaris Eksekutif Gapkindo Sumut Edy Irwansyah mengatakan prospek karet alam di pasar global tetap cerah meski permintaan dari industri manufaktur maupun otomotif masih fluktuatif, terlihat dari pertumbuhan konsumsi karet alam sebesar 2,3% di tahun 2024.
Konversi lahan karet menjadi perkebunan sawit dengan dalih memperkuat ketahanan energi dan ekonomi nasional di tengah tren tersebut dikatakan Edy justru menimbulkan polemik. Tidak hanya Sumut yang terdampak, tapi juga Indonesia.
“Kebijakan ini dikhawatirkan akan melemahkan ekosistem yang telah dibangun lebih dari satu abad, melepas keunggulan historis Indonesia sebagai pemain utama karet alam dunia, justru saat peluang global masih terbuka lebar,” kata Edy, Kamis (3/7/2025).
Dijelaskan Edy, tanaman karet dibudidayakan secara komersial di Indonesia sejak 1902 yang ditandai dengan lahirnya kebun-kebun karet rakyat. Sumatra menjadi salah daerah dengan komoditas unggulan berupa karet.
Awalnya, Indonesia hanya mengekspor karet dalam bentuk lembaran. Sejak inisiatif Menteri Perdagangan saat itu yakni Sumitro Djojohadikusumo, di tahun 1968 Indonesia mulai mengembangkan industri pengolahan karet remah (crumb rubber) untuk meningkatkan nilai tambah ekspor. Karet remah ini banyak digunakan sebagai bahan baku strategis bagi industri hilir seperti ban, alat kesehatan, hingga komponen otomotif.
Baca Juga
Edy mengatakan, jika rencana konversi lahan karet tidak produktif menjadi perkebunan sawit benar-benar dijalankan pemerintah, Sumut bisa terkena dampak besar.
Begini dampak konversi lahan karet menjadi perkebunan sawit menurut Gapkindo Sumut:
Pertama, pabrik pengolahan karet remah di Sumut terancam tutup permanen karena pasokan bokar (bahan olah karet) yang tidak memadai. Konversi lahan secara masif akan mengurangi ketersediaan bokar dari petani maupun perusahaan perkebunan yang selama ini menjadi sumber utama pasokan untuk pabrik.
Kondisi itu, lanjut Edy, menempatkan seluruh pabrik dalam posisi rentan. “Jika pabrik-pabrik ini tutup permanen, maka seluruh rantai pasok dari petani hingga industri hilir akan terputus, menghentikan aktivitas ekonomi yang telah berlangsung selama puluhan tahun,” jelasnya.
Kedua, penutupan industri pengolahan karet tentu berdampak pada ratusan ribu tenaga kerja yang akan kehilangan mata pencahariannya. Implementasi rencana pemerintah tersebut membuat opsi pemutusan hubungan kerja (PHK) massal sulit dihindari, baik terhadap karyawan maupun tenaga harian lepas.
Efek berantainya yakni pada usaha mikro dan kecil yang bergantung pada aktivitas pabrik, seperti warung, angkutan, dan logistik lokal yang juga akan terdampak.
Edy menyebut ekonomi daerah yang sangat tergantung pada komoditas karet akan mengalami pelemahan drastis, menurunkan daya beli masyarakat, hingga meningkatkan risiko kemiskinan struktural.
Ketiga, petani karet akan tersingkirkan dari sistem. Pasalnya, tidak semua daerah penghasil karet cocok untuk budidaya komoditas selain karet sehingga ketika pasar lokal terdampak penutupan industri pengolahan, para petani karet akan menjadi kelompok yang paling dirugikan. Mereka kehilangan akses pasar, insentif untuk merawat kebun, dan mengalami tekanan ekonomi yang makin berat.
Keempat, industri ban nasional diterpa krisis bahan baku. Edy menyebut tak kurang dari 14 pabrik ban yang bergantung pada pasokan karet remah (SIR) dari dalam negeri. Jika bahan baku semakin sulit didapat, industri ban akan terpaksa mengandalkan impor.
“Hal ini akan menimbulkan lonjakan biaya produksi, meningkatkan ketergantungan pada negara lain, dan menurunkan daya saing produk ban nasional,” jelas Edy.
Dalam jangka panjang, lanjutnya, tekanan ini juga bisa menghambat pertumbuhan industri otomotif nasional dan melemahkan kontribusi sektor manufaktur berbasis karet terhadap ekonomi Indonesia.
Kelima, Indonesia bisa kehilangan posisi strategis global. Sebagaimana diketahui, Indonesia selama ini menduduki posisi eksportir karet alam terbesar kedua di dunia setelah Thailand. Konversi akan membuat produksi karet alam menukik tajam. Dampaknya, Indonesia tak bisa lagi mempertahankan posisinya.
Perubahan status dari produsen karet alam menjadi konsumen disebut Edy akan melemahkan posisi tawar Indonesia di pasar internasional serta mengurangi pengaruh dalam kebijakan perdagangan global.
Keenam, konversi dapat merusak rantai pasok dan menghilangkan efek ganda ekonomi. Edy menyebut rantai pasok karet di Sumut mencakup lebih dari 170 ribu petani, puluhan pabrik, dan berbagai industri hilir seperti ban, sarung tangan medis, alat kesehatan, dock fender, alas kaki, dan barang jadi karet lainnya. Konversi lahan akan menyebabkan kerusakan serius pada rantai pasok secara keseluruhan. Efek ganda dari aktivitas ekonomi seperti penciptaan lapangan kerja, peningkatan ekspor, dan kontribusi terhadap pendapatan daerah juga akan ikut hilang.
Edy menekankan, implementasi kebijakan itu nantinya akan merusak ekosistem karet dari hulu ke hilir. Dia menyebut rencana itu juga dapat melemahkan kemandirian industri nasional.
“Kalau memang kebun karet yang ada sudah tidak lagi produktif, langkah yang seharusnya dilakukan adalah peremajaan,” tandas Edy.
Hingga saat ini setidaknya ada 10 pabrik pengolahan karet di Sumut yang gulung tikar.
Berdasarkan data Gapkindo Sumut, pabrik pengolahan karet alam di Sumut yang masih aktif saat ini yakni:
- Pabrik pengolahan karet remah = 24 unit
- Pabrik Pengolahan Ribbed Smoked Sheet = 7 unit
- Pabrik pengolahan lateks pekat = 3 unit
Selain itu, ada pula sejumlah pabrik sarung tangan karet di Sumatra Utara. (240)