Bisnis.com, PEKANBARU-- Forum Masyarakat Korban Tata Kelola Hutan-Pertanahan (FMKTKHP) Riau menyambut baik rekomendasi yang dikeluarkan Komnas HAM terkait persoalan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN).
Juru bicara forum Abdul Aziz mengatakan rekomendasi tersebut menjadi harapan baru agar konflik tenurial di TNTN dapat diselesaikan dengan pendekatan yang komprehensif dan berkeadilan.
“Kami berharap persoalan TNTN ini diselesaikan secara menyeluruh dengan mengedepankan aturan-aturan yang ada sebagai dasar penyelesaian. Jangan justru dengan tekanan, pemaksaan kehendak, apalagi intimidasi. Yang dihadapi adalah rakyat, bukan separatis apalagi kelompok bersenjata,” ujarnya, Jumat (22/8/2025).
Ia menyoroti keberadaan aparat bersenjata dalam penertiban yang justru memperkeruh suasana. “Saat ini ada beberapa pos militer bersenjata di sana, bahkan di lokasi plang penyitaan masih ada camp militer. Ini maksudnya apa?” ujarnya.
Menurut Aziz, sejak awal pembentukan TNTN sudah bermasalah karena melanggar aturan tata ruang nasional. Ia menyebut, setelah kawasan itu ditetapkan, terjadi pembiaran dari pihak kehutanan sehingga masyarakat yang sudah lama bermukim kemudian dipersalahkan.
“Bahasa yang dipakai pun sering mendiskreditkan, masyarakat disebut perambah, bahkan ada framing seolah-olah ada cukong di balik masyarakat. Padahal sejak 1974 areal yang kini disebut TNTN sudah menjadi areal penebangan kayu oleh perusahaan pemegang izin HPH,” jelasnya.
Baca Juga
Aziz juga mengungkap fakta lain bahwa di dalam kawasan TNTN terdapat 153.000 hektare lahan yang dikuasai secara melanggar hukum oleh 13 perusahaan.
“Areal itu masuk dalam lanskap TNTN. Pelanggaran hukum ini bersama-sama dilakukan dengan kehutanan. Akibatnya negara dirugikan sekitar Rp7,4 triliun dari kayunya saja. Kenapa ini tidak diproses, sementara masyarakat terus yang dikejar-kejar?” ujarnya.
Aziz menegaskan, masyarakat korban tata kelola hutan berharap pemerintah benar-benar menjalankan rekomendasi Komnas HAM dengan cara yang humanis dan adil, bukan dengan pendekatan militer.
Sebelumnya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Komnas HAM) menyoroti kebijakan relokasi mandiri terhadap warga di sekitar Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Kabupaten Pelalawan, Riau.
Relokasi tersebut dilakukan oleh Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) setelah kegiatan penyitaan lahan yang diklaim masuk ke kawasan TNTN pada 10 Juni 2025.
Warga dari enam desa dengan jumlah sekitar 30.000 jiwa diminta melakukan relokasi mandiri hingga batas waktu 22 Agustus 2025. Namun, Komnas HAM menilai kebijakan tersebut berpotensi melanggar hak asasi manusia karena tidak disertai dengan solusi alternatif yang jelas.
Wakil Ketua Internal Komnas HAM, Prabianto Mukti Wibowo, menjelaskan bahwa hasil pemantauan lapangan pada 6–9 Agustus 2025 menunjukkan sejumlah temuan penting.
“Pertama, sebagian besar lahan sawit di kawasan Tesso Nilo sebelumnya adalah bekas izin pemanfaatan hutan yang telah lama terbengkalai. Masyarakat kemudian masuk sejak awal 2000-an dan membangun kehidupan, termasuk sekolah, rumah ibadah, serta fasilitas pemakaman,” ujar Prabianto.
Ia menambahkan, Satgas PKH memasang papan pengumuman relokasi tanpa ada surat resmi yang diberikan langsung kepada warga. Bahkan sempat muncul imbauan agar sekolah-sekolah di kawasan tersebut tidak menerima murid baru, meski akhirnya dibatalkan setelah mendapat protes.
“Warga yang kami temui menolak relokasi karena sudah belasan tahun bermukim dan memiliki kebun sawit produktif. Tidak ada tawaran kompensasi maupun lokasi tujuan baru bagi mereka. Relokasi tanpa solusi akan membuat masyarakat kehilangan tempat tinggal dan sumber penghidupan,” tegasnya.
Komnas HAM menilai langkah tersebut berpotensi melanggar Pasal 40 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, serta Pasal 11 Konvensi Internasional Hak-Hak Ekonomi Sosial Budaya terkait hak atas tempat tinggal dan kehidupan yang layak.
Atas dasar itu, Komnas HAM merekomendasikan empat hal. Pertama, meninjau ulang batas waktu relokasi mandiri sebelum ada perlindungan prosedural yang konkret. Kedua, mendorong kebijakan penertiban kawasan hutan berbasis kajian komprehensif, termasuk hasil kajian Tim Revitalisasi Ekosistem TNTN tahun 2018.
Ketiga, memberikan perlindungan prosedural berupa konsultasi yang tulus, pemulihan hukum, serta alternatif tempat tinggal dan penghidupan yang layak. Keempat, menghindari penggunaan kekuatan berlebihan dan simbol-simbol militer dalam ranah sipil, dengan mengedepankan pendekatan kemanusiaan.
“Negara tidak boleh mengulangi kesalahan dengan mencabut hak warga untuk tinggal dan hidup layak tanpa memberikan solusi yang manusiawi. Pendekatan kemanusiaan harus menjadi prioritas,” pungkasnya.