Bisnis.com, PEKANBARU -- Pemerintah Provinsi Riau menggelar pertemuan strategis dengan organisasi internasional Architecture for REDD+ Transactions (ART) dan pengembang metodologi TREES yang menjadi standar global pengukuran dan verifikasi pengurangan emisi karbon melalui skema REDD+.
Pertemuan ini difasilitasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan dipimpin oleh perwakilan Indonesia, Haruni yang memfokuskan pembahasan pada bagaimana metodologi ART TREES dapat diterapkan untuk menghitung dan memverifikasi emisi karbon di wilayah jurisdiksi Riau.
Architecture for REDD+ Transactions (ART) adalah lembaga internasional yang menyediakan standar REDD+ di tingkat yurisdiksi, sementara TREES adalah metodologi yang mereka kembangkan untuk memantau, melaporkan, dan memverifikasi pengurangan dan penyerapan emisi karbon secara kredibel dan terukur.
Dalam sesi diskusi, Cristina Magerkurth Managing Director ART TREES, menyampaikan apresiasinya terhadap inisiatif Riau yang dinilai telah berada di jalur yang tepat.
“Dua jam pertemuan dengan Pemerintah Indonesia khususnya Pemprov Riau merupakan pertemuan berharga. Kami berharap Riau bisa membuat keputusan terbaik untuk bergerak maju menghadapi perubahan iklim, dan kami antusias menjalin kerja sama ke depannya,” ujar Cristina, Rabu (25/6/2025).
Ia menambahkan bahwa pendampingan dari United Nations Environment Programme (UNEP) menjadi langkah penting dalam memastikan metodologi perhitungan karbon kredit diimplementasikan secara akurat dan sesuai standar global.
Baca Juga
Plt Kepala Bappeda Provinsi Riau Purnama Irawansyah dalam kesempatan tersebut menjelaskan bahwa berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Riau 2024, baseline karbon Provinsi Riau mencapai 174 juta ton CO₂.
Mengikuti target nasional, jurisdiksi Riau berkewajiban menurunkan emisi sebesar 39 % dengan kemampuan sendiri dan hingga 43 % dengan bantuan internasional. “Jika Riau berhasil mencapai target 43 % dengan dukungan global, maka benefit yang diperoleh akan sepadan dengan kontribusi penurunan emisi tersebut,” jelas Purnama.
Langkah terobosan ini sejalan dengan visi Gubernur Riau Abdul Wahid, yang melihat potensi besar dalam mengakses pasar wajib karbon (compliance market) sebagai solusi atas keterbatasan fiskal daerah. Pasar wajib ini diatur oleh regulasi internasional, termasuk Pasal 6 Paris Agreement, dan mewajibkan entitas tertentu menurunkan emisi karbon melalui skema perdagangan karbon.
“Untuk dapat mengakses pasar ini, daerah harus berkolaborasi erat dengan pemerintah pusat untuk memperkenalkan wilayah jurisdiksi yang potensial. Tantangan ini justru kami lihat sebagai peluang untuk mendatangkan investasi hijau,” terang Purnama.
Pendapatan dari penjualan kredit karbon nantinya dapat dimanfaatkan untuk membiayai berbagai program pembangunan hijau di sektor lahan, kehutanan, lingkungan hidup, pertanian, hingga transportasi. Skema ini dinilai menjadi peluang strategis bagi Riau untuk membangun infrastruktur berkelanjutan tanpa hanya bergantung pada dana APBD.