Mulai dari tidak adanya sumber daya manusia yang andal dalam mengelolah sebuah kelompok tani, hingga adanya penyelewengan bantuan pertanian, sehingga cukup banyak petani keluar dari sebuah kelompok tani.
Menurutnya bicara soal SDM, tidak dapat dipungkiri petani-petani yang ada di Sumbar kebanyakan tidak mampu untuk menjalankan sebuah organisasi kelompok tani yang ada di suatu pedesaan. Sehingga apabila ada dihadapkan dengan persoalan administrasi, banyak dari petani memilih mundur, dan kemudian bubar.
“Kondisi dari hal ini sebenarnya dibutuhkan peran dari penyuluh pertanian yang ada di masing-masing kecamatan. Tapi tidak semua penyuluh bisa melaksanakan tugas di lapangan secara optimal, dan ditambah petani yang dihadapi juga beragam karakter,” sebutnya.
Terkait kondisi yang disampaikan Ferdinal itu, dibenarkan oleh salah seorang petani di Kabupaten Pesisir Selatan, Hendra mengatakan bahwa dirinya pernah bergabung ke salah satu kelompok tani yang ada di desanya. Tapi hal yang terjadi, ketua kelompok tani malah tidak mendistribusikan bantuan tani yang masuk secara adil dan merata.
“Kelompok tani yang pernah saya temui itu, seluruh bantuan pupuk yang masuk, ketua kelompok tani nya yang menggunakannya. Alat-alat lainnya seperti alat semprot, bajak sawah, ketua saja yang pakai. Pas hendak dipinjam, banyak alasannya. Makanya saya keluar saja, sekarang kelompok tani itu sudah bubar,” sebutnya.
Diakuinya bahwa alasan untuk ikut tergabung dalam kelompok tani untuk mendapatkan bantuan-bantuan pertanian, karena adanya bantuan pertanian itu, dapat menekan biaya petani untuk mengolah lahan, seperti lahan sawah.
Baca Juga
“Sekarang saya tidak lagi bergabung ke kelompok petani manapun. Kecewa saja dengan kondisi yang sebelumnya. Jadi saat ini saya pun menggunakan biaya secara mandiri, tidak ada pupuk subsidi, dan tidak ada bantuan lainnya. Palingan bayar upah buruh tani saja,” tegasnya.