Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Perang India-Pakistan Berdampak pada Harga Komoditas Gambir di Sumbar

Harga gambir pada pekan ini pecah dari nilai Rp20.000 per kilogram dengan kondisi kadar air 15% atau dijual belum dalam keadaan terlalu kering.
Komoditas gambir/Bisnis
Komoditas gambir/Bisnis

Bisnis.com, PAINAN - Petani gambir di Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatra Barat, menghadapi dilema semakin memburuknya harga gambir sejak memasuki bulan Mei 2025.

Kondisi tersebut merupakan dampak dari konflik yang terjadi antara India dan Pakistan mengingat kedua negara tersebut merupakan tujuan ekspor gambir dari Ranah Minang.

Seorang petani gambir, Heri mengatakan harga gambir pada pekan ini pecah dari nilai Rp20.000 per kilogram dengan kondisi kadar air 15% atau dijual belum dalam keadaan terlalu kering. Harga tersebut jauh merosot bila dibandingkan pada bulan April 2025 yang masih berada di atas Rp30.000 per kilogramnya

“Kalau lah pecah nilai harganya Rp20.000 per kilogram itu, artinya harga yang diterima petani Rp17.000 hingga Rp19.000 per kilogramnya. Nilai segitu, dipastikan tidak ada keuntungan yang diperoleh petani, karena nilai standar yang masih bisa membuat petani untung itu ya harus di atas Rp35.000 per kilogramnya,” kata Heri, Senin (12/5/2025).

Dia mengakui di satu sisi ada petani mulai malas untuk memanen daun gambir, karena dalam keadaan harga anjlok ini, bila tetap dipaksakan untuk panen, malah besar pasar pasak daripada tiang. Maksudnya, lebih besar pula biaya untuk dikebun ketimbang menerima dari nilai hasil penjualan gambirnya.

Namun disisi lain, keluarga petani menggantungkan hidup dari hasil panen dan penjualan gambir tersebut, sehingga membuat petani merelakan tenaga yang terkuras, dan melakukan upaya mengirit keperluan di kebun, agar kerugian yang dialami tidak terlalu besar.

“Saya memilih tetap panen dan memproduksi gambirnya. Dari pada nanti daunnya mubazir pula, sementara keluarga juga butuh makan setiap hari, anak-anak lagi sekolah dan kuliah. Jadi terpaksa tetap panen dan jual murah,” ungkapnya.

Heri menjelaskan dalam setiap panen gambir itu, bila luas lahan gambir mencapai 3 hektare, maka dibutuhkan kebutuhan makan untuk tinggal di kebun selama satu bulan, artinya selama satu bulan itu menghabiskan waktu dan tinggal di pondok di kebun, bersama buruh tani lainnya.

“Jadi kalau satu bulan di kebun itu, karena tidak bisa keluar dari kebun karena akses jauh juga. Harus bawa bekal, kalau untuk pekerja 4 orang, bekalnya habis Rp500.000 per pekannya. Nah kalau sampai satu bulan, artinya biaya bekal lebih dari Rp2.000.000, belum lagi ada keperluan tidak terduga, seperti minyak sepeda motor, bola lampu, gas LPG, dan lainnya,” sebutnya.

Oleh karena itu, dengan adanya kondisi harga gambir pecah dari nilai Rp20.000 per kilogram, maka hal tersebut sangat membuat kondisi petani dilema dan galau. Antara malas ke kebun, tapi nasib dituntut harus tetap bekerja menghasilkan uang dari hasil panen gambir.

“Parahnya lagi, pasi dijual ke pengepul, ada juga pengepul mengaku uang penjualan ke eksportir tidak diterima penuh. Akibatnya, kami yang dari petani tidak bisa langsung menerima hasil panen, ya palingan stok dulu kertas kwitansi transaksi penjualannya, nanti per pekannya kami datangi lagi pengepulnya, ada dibayar ada yang juga masih ditunda dulu. Begitulah kondisi petani saat ini,” tegasnya.

Penyebab Harga Anjlok

Terpisah, seorang eksportir gambir yang ada di Kabupaten Padang Pariaman, Punit mengungkapkan bahwa ada tiga hal yang menyebabkan lagi anjloknya harga gambir di tingkat petani, pertama adanya permainan pengepul, kedua soal kualitas gambir diproduksi petani kurang bagus, dan ketiga terkait perang antara India dan Pakistan.

Dia mengungkapkan untuk persoalan kedua dan ketiga itu, memang pihaknya sering menyampaikan keluhan kepada pengepul agar benar-benar memastikan gambir yang dibeli petani dalam keadaan bagus. Karena dari banyak kasus kualitas gambir yang ditemukan Punit ini, gambir yang diproduksi petani ada sebagiannya malah dicampur dengan tanah, dan hal itu jelas sangat membuat harga bakal buruk.

“Saya kalau menemukan adanya gambir bercampur tanah itu, langsung saya tolak saja gambir yang diantar ke gudang saya oleh pengepul, dan itu urusan pengepul dengan petaninya. Saya maunya kualitas bagus, dan kalau bagus untuk harga digudang bisa mencapai Rp60.000 hingga Rp80.000 per kilogramnya,” jelas dia.

Dia menyebutkan dari acap kali melakukan tes kualitas gambir itu, ternyata ada yang salah dari cara petani memanen daun gambirnya. Dimana untuk bisa mendapatkan getah gambir yang bagus, usia daun yang dipanen itu harus memiliki rentang usia 2,5 bulan hingga 4 bulan. Kalau di usia seperti itu, dipastikan getah dan kualitas gambir yang diproduksi bakal bagus dan memiliki harga yang tinggi.

“Yang kami beli itu kan ada ketekin nya, untuk mendapatkan katekin yang bagus itu, jangan daun-daun yang masih berusia muda, kalau seperti itu tidak bakalan bagus kualitas getah gambirnya. Saya menduga, petani tidak sabar untuk panen, sehingga daun-daun yang belum memasuki masa panen, malah dipanen. Akibatnya kualitas buruk, dan kondisi semakin tidak terkendali, malah ada dicampur tanah malah,” sebutnya.

Dia berharap betul agar petani gambir di Sumbar benar-benar memproduksi gambir yang bagus. Karena jika begitu terus, bisa-bisa nanti pangsa pasar untuk gambir dari Sumbar mendapat nilai yang buruk pula di pasar dunia. Terlebih kondisi lagi ada peperangan antara India dan Pakistan.

Menurutnya kondisi peperangan yang terjadi itu turut mempengaruhi permintaan gambir dari kedua negara itu, hal ini membuat tumpukan stok di gudang, sementara panen gambir terbilang melimpah, meskipun saat ini harga lagi anjlok. Secara ekonomi, memang tidak dapat dihindari lagi jatuhnya harga gambir di bulan Mei ini.

“Saya belum bisa memastikan bagaimana kondisi harga gambir kedepannya. Harapan tentu ada, agar kondisi kedua negara bisa kondusif,” harap Punit.

Sementara itu, berdasarkan data Badan Karantina, ekspor gambir Sumbar itu di dua negara yakni India dan Pakistan, dimana terhitung sejak Januari-Maret 2025 total gambir yang telah di eskpor 12,90 ton. Pada Januari 2025 itu 1 ton, Februari 3,90 ton, dan Maret sebanyak 8 ton.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Ajijah

Topik

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper