Bisnis.com, Deli Serdang - Generasi muda yang menaruh perhatian pada budaya nenek moyang selalu memiliki daya pikat tersendiri. Dengan begitu, masih merekah asa bagi suatu budaya untuk dikenal banyak orang.
Seperti halnya yang dilakukan Wan Irfania Ramadhani Lubis, pemilik IR Songket (Deli) yang berlokasi di Jalan Kutilang, Tembung, Deli Serdang.
Perempuan berusia 32 tahun yang akrab disapa Fani itu melanjutkan upaya ibundanya melestarikan kain tradisional suku Melayu, songket, dengan terus berupaya menciptakan motif-motif kaya makna dan cerita sejarah.
Semua bermula dari kekhawatiran ibunda Fani akan budaya Melayu yang semakin tergerus. Kendati berakar dari Medan, budaya Melayu Deli di Ibu Kota Sumatra Utara ini hampir tak nampak, selain pada dua bangunan yang jadi ikon kota, yakni Istana Maimun dan Masjid Raya Al-Mashun.
Hal itu yang menggerakan ibundanya untuk menghidupkan kembali warisan budaya nenek moyang di tanah leluhur ini.
Tenun songket lantas dipilih menjadi media pelestarian budaya usai membuka kembali foto-foto lama Sultan-Sultan Melayu Deli terdahulu di Istana Maimun.
Baca Juga
"Kebetulan Ibu saya masih keturunan Kesultanan Deli dan sempat jadi pengurus di Istana Maimun. Karena memang ingin menghidupkan kembali budaya Melayu di sini, beliau membuka foto-foto lama dan melihat para Sultan mengenakan songket. Dari situ beliau memutuskan ingin membudayakan kembali songket Melayu," kata Fani, sapaan akrabnya, kepada Tim Jelajah Jurnalistik Bisnis Indonesia dalam agenda Ekspedisi UMKM Champion Sumut 2024, Rabu (5/6/2024)
Sejatinya, songket menjadi kain tradisi suku Melayu yang diwariskan turun temurun oleh para pemangku adat di Kesultanan, termasuk di Kesultanan Deli. Di atas kain terpampang motif-motif sarat makna yang jadi media bercerita atau penyampai pesan kepada pengguna maupun yang melihat.
Namun, hidup di zaman yang lebih modern membuat keluarga Fani tak tumbuh besar dengan songket.
Demi mewujudkan mimpi menghidupkan kembali peninggalan budaya itulah keluarga trah Istana Maimun ini giat mencari penenun-penenun songket sampai ke Kabupaten Batubara. Tidak hanya untuk menenunkan kembali sejarah adiluhung itu, tapi juga mengajarkan cara menenun wastra khas Melayu tersebut ke masyarakat.
Dari Lulusan Animasi ke Pelestari Tradisi
Keputusan Fani melanjutkan usaha tenun songket ibundan tak direncanakan. Sarjana Animasi dari salah satu kampus terkemuka di Jakarta ini awalnya kekeuh ingin bekerja di dunia industri sesuai keahliannya, meski sejak kuliah ia telah terjun mengurus usaha keluarganya itu.
Fani mengaku dulu tak memiliki ketertarikan pada motif dan warna kain songket zaman dahulu yang memang cenderung kuno. Semua berbalik saat ilmu animasi yang ia pelajari selama kurang lebih 4 tahun bersinggungan dengan teknik dasar menenun.
"Waktu mendesain, saya diajari sama penenun songket di sini soal hitungan benang. Saya mulai tertarik karena rasanya, kok, bisa diterapkan ke Adobe Ilustrator (AI). Lalu, untuk sketsanya, bisa di Photoshop, nih, pikir saya. Di situ saya mulai senang karena merasa tertantang mengimplementasikannya ke AI," beber Fani.
"IR Songket" dibangun Fani pada 2016. Penyuka film animasi untuk anak-anak ini terbilang sukses menerapkan teknologi digital ke pembuatan songket tradisional.
Fani mengakui penggunaan teknologi digital membuat ia bisa lebih luwes dalam mengembangkan motif, terlebih mampu memangkas waktu penghitungan benang.
"Songket itu, kan, sebenarnya konsep pixel. Jadi, bagaimana kita bisa membuat suatu objek tetap terlihat sebagai objek itu di atas kain tenunan," tambahnya.
Motif khas Melayu seperti pucuk rebung dan tampuk manggis serta ratusan motif kombinasinya telah diproduksi IR Songket sepanjang 8 tahun perjalanannya.
Meski berpatokan pada catatan sejarah, namun, Fany juga mengembangkan motif-motif baru (kontemporer) sesuai objek yang terinterpretasi dalam cerita sejarah yang ia baca.
Catatan perjalanan dari petualang Inggris John Anderson di Sumatra Timur pada 1826 menjadi rujukan Fani dalam pengembangan motif.
"Kami menjadikan kain ini sebagai media cerita kami atas suatu sejarah," sambungnya.
Upaya Fani membawa berkah. Tenun songket produksinya tidak hanya mewujudkan mimpi ikut serta melestarikan budaya, tapi juga mengisi kantung pendapatannya.
Dalam sebulan, penenun IR Songket yang kini berjumlah belasan orang bisa memproduksi sampai 50 kain dengan harga jual mulai dari Rp600 ribu sampai Rp7 juta per lembar. Rata-rata penghasilan Fani dalam sebulan berkisar Rp50 juta-Rp70 juta.
Berkat aktif berjualan lewat akun instagram @songketdeli, pembeli IR Songket berdatangan tidak hanya dari dalam negeri, tapi juga dari negeri-negeri serumpun Melayu seperti Malaysia dan Singapura.
Sebagai penarik pelanggan, IR Songket tidak hanya menyediakan kain jadi, namun juga memberi keluwesan calon pembeli untuk memesan motif maupun warna yang mereka inginkan.
Pangsa pasar Fani semakin berkembang dengan beragam pameran dalam dan luar negeri yang diikutinya.
"Kami bersyukur dipertemukan dengan Bank Indonesia (Kantor Perwakilan Bank Indonesia Sumatra Utara) pada 2015 lalu karena itu semakin membuka pasar kami. Terutama lewat kesempatan untuk ikut pameran," kata Fani.
IR Songket menjadi salah satu UMKM yang dibina Kantor Perwakilan Bank Indonesia Sumatra Utara (KPw BI Sumut) dalam rangka mendukung perekonomian masyarakat lewat sektor UMKM sekaligus meningkatkan daya saing UMKM lokal ke kancah global.
UMKM yang berlokasi di Jalan Kutilang, Tembung, Deli Serdang ini pernah pula diikutsertakan oleh Bank Indonesia dalam pameran hingga ke Singapura (2017) dan New York (2019).
Guna mendukung kelangsungan produksi dan misi budaya dari tenun songket Melayu Deli ini, KPw BI Sumut juga memberikan 6 (enam) unit alat tenun bukan mesin atau ATBM kepada IR Songket.
"Kami juga diberi pelatihan terkait penggunaan alat tenun itu karena sebelumnya kami masih pakai yang tradisional, di samping fasilitasi-fasilitasi lain seperti sertifikasi dan pelatihan-pelatihan yang mendukung keberlangsungan usaha kami," kata Fani.
Ke depan, Fani berencana akan mengembangkan produk turunan songket yang ready to wear, yakni mengombinasikan songket dengan pakaian (baju) untuk wanita agar songket Melayu yang sarat makna itu tetap bisa dipakai di keseharian. (K68)