Bisnis.com, JAMBI – Dewan penelitian Uni Eropa yang tergabung ke dalam European Research Council (ERC) meluncurkan program Plan S. Program ini mewajibkan semua luaran hasil penelitian yang bersumber dari dana hibah negara maupun konsorsium swasta untuk dipublikasikan pada jurnal dengan akses terbuka (open access).
Dengan ditetapkannya kebijakan ini, maka peneliti dan perguruan tinggi dari negara berkembang dan negara terbelakang (baca: miskin) akan dapat mengakses penelitian yang berkualitas tanpa harus membayar.
Sejauh ini, tak hanya negara Uni Eropa saja yang sudah bergabung, sejumlah konsorsium besar yang mendanai riset dunia bahkan sudah memastikan kesertaannya dalam program ini dengan membuat grup koalisi yang dinamai cOALition S. Di antara yang sudah ikut bergabung seperti Bill & Melinda Gates foundation, WHO, TDR, Templeton World, dan Howard Hughes Medical Institute.
Program ini cukup seksi mengingat cuan yang akan didapat dari bisnis jurnal ini cukup fantastis. Menyambut kebijakan Plan S ini, sejumlah publisher besar seperti Springer Nature baru-baru ini bahkan mengubah kebijakan publikasinya dari akses tertutup (embargo) menjadi akses terbuka.
Nature dan 32 jurnal yang ada di bawahnya secara terbuka bahkan sudah mengumumkan secara terbuka bahwa jurnalnya akan memulai skema akses terbuka mulai Januari 2021 nanti.
Tidak tanggung-tanggung, Nature mengenakan biaya publikasi atau article publication charge (APC) hingga 9.500 euro (Rp163 jutaan dengan kurs Rp17.169) untuk akses terbuka ini.
Nature bahkan memberikan kebebasan kepada penulis untuk memublikasikan artikel yang sudah terbit di jurnalnya itu dipublikasikan ke repositori kampus. Padahal, normalnya untuk mengakses publisher sekelas Nature, Taylor & Francis, Wiley ataupun Science Direct, kampus harus membayar ratusan bahkan hingga miliaran rupiah.
Apa manfaat Plan S ini bagi jurnal Indonesia? Secara statistik, saat ini Indonesia menempati puncak tertinggi sebagai negara dengan jurnal open access terbanyak di dunia. Merujuk data lembaga pengindek jurnal Open Acess, doaj.org, jumlah jurnal Indonesia yang terdaftar sebagai jurnal open access sebanyak 1.765 jurnal, disusul Inggris 1.722 dan Brazil 1576 (2/12).
Dilihat dari sasaran luarannya, maka sangat memungkinkan 1.765 jurnal Indonesia ini akan menjadi jurnal sasaran program Plan S. Di antara yang menjadi pertimbangannya adalah platform yang digunakan jurnal-jurnal di Indonesia merupakan platform jurnal open access yakni Open Journal System (OJS) yang dipersyaratkan Plan S. Di samping platform, faktor lainnya yang menjadi pertimbangan adalah APC.
Dikutip dari sustainingknowledgecommons.org, APC jurnal-jurnal di Indonesia bahkan paling rendah di dunia setelah Iran, dengan rata-rata APC US$79 per artikel (Rp1.185.000 dengan kurs Rp15.000 per US$1).
Selain itu, jurnal-jurnal Indonesia yang masuk kategori jurnal target Plan S ini juga mulai dilirik oleh lembaga pengindek besar seperti Scopus. Terbaru, jurnal yang terbit dalam bahasa Indonesia diterima untuk terindeks di Scopus.
Secara kelaziman ini tentu biasa saja, mengingat bahasa bukan salah satu ukuran jurnal itu diterima atau tidak oleh Scopus. Toch banyak jurnal berbahasa China ataupun Turki yang juga terindeks di Scopus. Namun, jika dilihat dari tren kenaikan keterimaan jurnal Indonesia di Scopus, dua tahun terakhir ini cukup signifikan, khususnya pasca Plan S ini diluncurkan 2018 lalu.
Masalah dan Solusi Pengelolaan Jurnal di Indonesia
Berdasarkan data Garba Rujukan Digital (Garuda) yang disediakan oleh Ristekbrin, jumlah jurnal Indonesia yang aktif berjumlah 10.827 dengan jumlah publisher 1.938. Dari jumlah itu, sebanyak 5.148 jurnal sudah terakreditasi pada Science and Technology Index (SINTA) (3/12). Secara jumlah, terlihat bahwa jumlah jurnal terakreditasi itu masih lumayan jauh dari target Ristekbrin yang mencanangkan setidaknya ada 8.000 jurnal nasional terakreditasi.
Namun demikian, dari jumlah jurnal yang terakreditasi itu, seberapa banyak jurnal Indonesia yang siap untuk menyambut peluang Plan S? Tentu ini tidak bisa dijawab asal dan perlu kajian dan penelusuran lebih mendalam lagi ke masing-masing jurnal. Saya mencatat setidaknya ada tiga persoalan yang perlu “diseriusi” untuk melihat kesiapan jurnal Indonesia menghadapi era Plan S ini.
Pertama, bahasa. Semua sepakat bahwa 86 jurnal indonesia yang terakreditasi SINTA 1 dan sudah terindeks Scopus berdasarkan data SINTA Ristekbrin itu adalah jurnal yang paling siap menghadapi Plans S.
Hanya saja, 86 jurnal SINTA 1 ini juga tidak harus jumawa, jika mengutip tulisan Prof Ahmad Najib Burhani, peneliti LIPI, masih banyak ditemukan artikel pada jurnal quartile Q1 dan Q2 Indonesia yang diusulkan untuk syarat jabatan fungsional, masih kurang memenuhi standar tulisan yang bagus, baik dari sisi bahasa maupun subtansi.
Bahasa ini tentu harus menjadi fokus editor jika jurnal Indonesia ingin mengambil bagian dalam Plan S. Mengingat, negara-negara peserta Plan S ini adalah native speaker yang tingkat kerumitan bahasanya lebih tinggi lagi.
Kedua, editor. Bukan rahasia umum lagi bahwa banyak jurnal di Indonesia yang dikelola bukan oleh pakar atau minimal disiplin ilmunya sama dengan jurnal yang dikelolanya. Bahkan, tidak sedikit pimpinan redaksi (editor in chief) jurnal belum pernah menulis sama sekali.
Dalam konteks kajian ELT misalnya, seorang reviewer jurnal menolak (reject) article tentang content analysis yang menurutnya adalah kajian book review. Ini tentu menjadi persoalan, ketika kapasitas editor atau reviewer sebuah jurnal tidak mampu mencermati konten yang masuk ke jurnalnya.
Ketiga, kesejahteraan editor. Dalam sejumlah kegiatan temu editor jurnal se-Indonesia, mayoritas curhatan para pengelola jurnal adalah masih rendahnya perhatian perguruan tinggi terhadap keberadaan jurnal di kampusnya masing-masing.
Pengelola jurnal hanya diberikan biaya pengganti cetak jurnal orang per terbit. Faktor ini juga yang menjadi alasan utama kenapa mutu pengelolaan jurnal di Indonesia sangat rendah. Sementara itu, untuk menghasilkan peer review process yang baik diperlukan energi dan kerja ekstra.
Sejauh ini, Pemerintah Indonesia melalui Ristekbrin sudah bergerak. Banyak kegiatan bahkan program yang diluncurkan untuk meningkatkan kapasitas pengelolaan jurnal di Indonesia.
Teranyar, pemerintah memberikan insentif untuk jurnal internasional bereputasi dan insentif peningkatan jurnal nasional menuju jurnal internasional bereputasi.
Dilihat dari sisi manfaat, insentif ini tentu sangat penting, utamanya untuk peningkatan kualitas jurnal dan tentunya sebagai apresiasi terhadap kinerja pengelola jurnal.
Hanya saja, jika dilihat dari data jumlah jurnal nasional terakreditasi, jumlah penerima insentif ini tentu sangat kecil jika dibandingkan dengan jumlah jurnal Indonesia yang ada saat ini.
Untuk itu, perlu dibuat kebijakan khusus bagi perguruan tinggi untuk mengalokasikan porsi anggarannya untuk pengelolaan jurnal. Tidak cukup ‘bahu’ Ristekbrin sendiri untuk memikul tanggung jawab yang berat ini.
Sejauh ini, porsi anggaran untuk pengelolaan jurnal di perguruan tinggi terbilang sangat kecil, bahkan di beberapa kampus justru tidak ada. Bandingkan saja alokasi anggaran perguruan tinggi untuk penelitian dan pengabdian masyarakat yang mencapai puluhan miliar per tahun.
Selain pembenahan kebijakan anggaran, hal lainnya yang perlu menjadi perhatian pemerintah adalah pendampingan pengelolaan jurnal.
Sejauh ini, di Indonesia, selain Ristekbrin, baru organisasi independen Relawan Jurnal Indonesia yang memasifkan gerakan pendampingan pengelolaan jurnal open access. Meski baru eksis empat tahun terakhir, organisasi ini sudah berhasil menghimpun anggota hampir di seluruh perguruan tinggi yang ada di Indonesia.
Dari penelusuran dini ini, masih banyak pekerjaan rumah lainnya yang ‘mendesak’ untuk dikerjakan. Seberapa jauh kita bisa mengambil peluang Plan S ini atau apakah kita juga akan selamanya menjadi penonton dan konsumen?
Jawabannya kembali kepada kebijakan yang akan dibuat oleh pemangku kebijakan dan semangat semua perguruan tinggi di Indonesia untuk meningkatkan kualitas pengelolaan jurnalnya.
Penulis: Aktif sebagai Sekretaris Pengurus Daerah Jambi Relawan Jurnal Indonesia dan Staf pada Pusat Publikasi Ilmiah LPPM Universitas Jambi