Bisnis.com, PADANG - Dinas Perkebunan Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Sumatra Barat menyampaikan pelaksanaan replanting atau peremajaan kelapa sawit di daerah itu dari tahun ke tahun urung terealisasi secara maksimal.
Baca Juga
Persoalan ini terjadi bukanlah tanpa sebab, dari keterangan Ketua DPW Apkasindo Sumbar Jufri Nur menjelaskan melihat harga tandan buah segar (TBS) sawit di Sumbar sering kali berada di harga tertinggi dan bahkan merupakan harga tertinggi di Indonesia.
"Pekan ini kami belum rapat TBS lagi, tapi pekan lalu (periode 8-14 April)harga sawit lebih dari Rp3.800 per kilogramnya," kata dia, Senin (14/4/2025)
Dia menyampaikan meski harga sawit di Sumbar terbilang tinggi, tapi belum bisa dinikmati secara optimalkan oleh petani, karena produksi terbilang kurang bagus.
Dimana hal tersebut disebabkan banyak faktor, mulai dari soal tanaman sawit yang sudah tua, hingga adanya pengaruh kemarau panjang tahun 2024, yang ternyata memberikan efek pada periode panen di tahun 2025 ini.
Dikatakannya persoalan replanting, memang tidak dapat dipungkiri banyak petani sawit di Sumbar enggan melakukan peremajaan tersebut, karena adanya berbagai alasan.
“Banyak petani berpendapat, tidak apa-apalah produksi agak berkurang, ya setidaknya bisa menutupi produksi dengan harga bagus, begitu kata petani, begitu kata petani pada umumnya," ujar dia.
Alasan lainnya, petani melihat jika pun nanti dilakukan replanting, sumber penghasilan yang biasa diterima per dua pekan sekali akan hilang. Padahal untuk menunggu sawit yang ditanam untuk bisa berbuah itu butuh waktu 4-5 tahun dan itupun hasil panennya belum bagus.
Memang telah ada solusi dari pemerintah yakni melakukan penanaman jagung disaat mulai melakukan peremajaan kelapa sawit. Tapi persoalannya jagung itu untuk dipanen nya hampir sama dengan usia tanaman padi yakni bisa 3 bulan.
"Artinya, bertanam jagung juga masih sulit untuk menjadi pengganti sumber penghasilan dari sawit ke bertani jagung," jelasnya.
“Saya sudah sering juga sampaikan ke petani yang tanaman sawitnya sudah lebih dari 25 tahun, bahkan untuk memanennya pun sulit, sudah tinggi, agar dilakukan peremajaan. Tapi ya hanya sebagian kecilnya saja yang mau, selebihnya masih tetap memanen sawit yang sudah tinggi-tinggi itu,” sambung Jufri.
Dia melihat alasan mendasar dari enggannya petani melakukan replanting adalah kekhawatiran terhadap penghasilan petaninya. Terutama bagi petani yang benar-benar menggantungkan hasil panen sawit untuk kebutuhan rumah tangganya. Sementara petani yang mungkin memiliki sumber penghasilan lainnya, bisa melakukan replanting itu.
Salah seorang petani sawit di Kabupaten Pesisir Selatan, Marlis mengatakan sebagai petani swadaya dan tidak tergabung dengan kelompok tani, bila bicara soal peremajaan sawit, maka modal dan resiko akan ditanggung sendiri. Karena untuk mendapatkan alokasi dana replanting dari pemerintah BPDPKS itu, petaninya harus tergabung dalam kelompok tani.
“Kalau petani seperti saya ini, kalau mau replanting, beli bibit sendiri, nanti untuk menunggu waktu hingga bisa panen lagi itu, biaya hidup saya mau dicarikan kemana lagi. Parahnya lagi sawit perkebunan rakyat ini harganya tidak bisa seperti harga yang telah ditetapkan seperti TBS sawit itu,” sebutnya.
Marlis menjelaskan untuk petani swadaya ini harga TBS nya jauh dari kata menggembirakan. Seandainya harga TBS sawit Rp3.500 per kilogram, mungkin untuk harga yang didapatkan petani swadaya paling tinggi Rp2.000 per kilogramnya.
Dari kondisi harga itulah petani swadaya hidup, dimana untuk luas lahannya tidaklah terlalu luas, dari satu hektare hingga dua hektare saja. “Kalau yang luas lahannya mungkin lima hektare atau bahkan lebih, saya rasa bisa melakukan replanting dengan sistem dibagi dua saja tahapan replanting nya,” ungkap dia.
Menurutnya untuk luas lahan yang hanya satu hektare, seandainya di replanting seluruhnya, dipastikan sumber penghasilan akan goyang. Berbeda dengan petani yang memiliki lahan yang luas, setidaknya bisa melakukan replanting secara bertahap.
“Jadi 50% tanaman sawitnya diremajakan dulu. Sembari tanamannya bisa tumbuh lebih besar, dan kemudian sisa lahan yang 50% lagi menyusul melakukan replanting nya. Dengan sistem itu mungkin tidak ada khawatir dengan sumber penghasilan dari panen sawitnya. Tapi itu kan yang punya lahan luas, kalau yang lahan yang cuma satu hektar, bakal berpikir panjang untuk melakukan replanting,” tegasnya.
Kemudian seorang petani di Kabupaten Dharmasraya, Teguh juga mengatakan dengan adanya lahan sawit itu, benar-benar menjadi sumber ekonomi yang sangat menjanjikan. Apalagi saat ini, surat-surat lahan perkebunan sawit tidak begitu sulit untuk dijadikan jaminan pengajuan pinjaman dana ke perbankan.
“Lahan perkebunan sawitnya yang luasnya lebih dari 1,5 hektare sudah saya jadikan jaminan ke perbankan untuk mendapatkan pinjaman,” katanya.
Teguh menjelaskan dengan hasil panen rata-rata per dua pekannya bisa mendapatkan 1 ton, pihak perbankan bisa memberikan takaran nilai pinjaman yang dinilai masih sanggup dibayarkan kreditnya dari hasil panen sawit itu. Jadi, pemilik lahan mendapatkan pinjaman yang bisa digunakan untuk modal usaha atau penambahan aset lainnya, sementara pemilik lahannya tidak perlu pusing memikirkan kredit setiap bulannya, karena kredit pinjaman bisa dibayarkan dari hasil panen itu saja.
“Bahkan kalau saya hitung, masih ada sisa hasil panen itu yang bisa nikmati per dua pekannya. Misalnya hasil panen 1 ton itu dapat Rp3,6 juta. Kalau dalam satu bulan bisa panen dua kali, maka total penghasilan satu bulan itu Rp7,2 juta. Sementara kredit pinjaman yang perlu dibayarkan ke bank itu sekitar Rp3,5 juta saja. Jadi kredit lancar, sisanya masih bisa dinikmati lagi,” ungkapnya.
Oleh karena itu, Teguh melihat dari adanya nilai hasil panen yang cukup menggiurkan tersebut, ketika kondisi tanaman sebenarnya memasuki masa replanting, maka petani akan berpikir 1.000 kali lagi.
“Saya sendiri berpendapat, selagi masih berbuah dan masih bisa dipanen, ya panen saja dulu. Kecuali benar-benar tidak berbuah lagi atau tidak ada lagi alat yang bisa menjangkau tandan buahnya lagi karena sudah tinggi, mungkin mau tidak mau harus ditebang dan ditanam lagi yang baru,” tegasnya.
Sementara itu, Sekretaris Dinas Perkebunan Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Sumbar Ferdinal Asmin mengatakan pelaksanaan replanting di daerah nya itu memang belum terealisasi secara baik, padahal ada sekitar puluhan ribu hektar perkebunan kelapa sawit yang seharus menjalani masa peremajaan.
“Dari data kami yang telah melaksanakan replanting itu luas lahan perkebunannya lebih dari 11 ribu hektare. Jumlah itu masih sedikit terlaksana replanting, dari luas lahan yang sepatutnya perlu di replanting,” ucapnya.
Dia menyampaikan dari informasi diperolehnya dari berbagai petani, memang ada sejumlah kendala. Mulai dari soal legalitas lahan kebun yang belum clean and clear, lalu ada lahan yang berpindah tangan, lahan yang belum punya SHM, adanya konflik/sengketa, agunan pinjaman, dan status lahan yang tidak jelas.
Kendala lainnya, kata Ferdinal, adanya tumpang tindih terhadap kawasan hutan termasuk terhadap Hak Guna Usaha (HGU). Selanjutnya kesulitan menyediakan peta perkebunan, karena terkendala SDM dan peralatan yang mendukung.
Kemudian juga ditemukannya kendala soal belum adanya pemahaman pengurus kelembagaan terhadap mekanisme penggunaan dana PSR (perkebunan sawit rakyat). Serta adanya alasan petani, mengurungkan melakukan replanting karena harga TBS lagi bagus.
Dikatakannya persoalan harga TBS tinggi juga menjadi salah alasan petani enggan untuk melakukan peremajaan sawitnya, padahal dari segi produktivitas menurun akibat usia tanaman kelapa sawit yang telah mencapai 25 tahun.
“Jadi dikarenakan dianggap replanting dapat menghilangkan potensi pendapatan saat masa peremajaan berlangsung. Membuat petani enggan melakukan peremajaan sawitnya. Nah, untuk kasus ini kami dari pemerintah tidak bisa memaksa petani. Tapi untuk pemahaman telah diberikan, namun petani tidak menerima solusi yang diberikan pemerintah, salah satunya mengajak bertanam jagung menjelang masa panen sawit tiba setelah melakukan replanting,” jelasnya.
Di satu sisi, dengan melakukan replanting kelapa sawit itu bukan bertujuan untuk mengurangi produktifitas, melainkan untuk meningkatkan produktivitas dengan masa yang lebih panjang kedepannya.
Sebab bila usia tanaman kelapa sawit sudah di mencapai 25 tahun, secara kuantitas dan kualitas akan berkurang. Selain itu petani akan mengalami kendala saat memanennya, karena tanaman mulai menjulang tinggi. “Ya itu, jika replanting, butuh 5 tahun untuk menunggu bisa dipanen lagi. Tapi ini bukan berarti petani bakal diam dan tanpa ada penghasilan," sebutnya.
Ferdinal menegaskan dalam menghadapi permasalahan itu, pihaknya telah melakukan upaya-upaya agar replanting kelapa sawit tersebut tetap jalan. Seperti melakukan sosialisasi manfaat dan pentingnya replanting kepada pekebun, perangkat nagari dan kecamatan sentra kelapa sawit di berbagai daerah.
Bahkan pihaknya juga telah melakukan peningkatan SDM pendukung replanting, bimtek pemetaan, bimtek agro ekonomi kelapa sawit. Dimana hal itu diharapkan, petani semakin paham bahwa peremajaan yang dilakukan itu kedepannya bisa memberikan dampak positif yang lebih besar, terutama dari sisi produktivitas.
Dia menyebutkan berkaca kepada kondisi tahun 2024 lalu, program replanting yang sejatinya ada alokasi biaya replanting yang dikelola oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), juga belum bisa membuat petani atau pekebun melakukan replanting tersebut.
"Tahun 2025 ini Sumbar dapat alokasi sekitar 5.400 hektare untuk daerah yang memiliki perkebunan kelapa sawit, baik yang perkebunan plasma maupun yang perkebunan rakyat. Kami berharap, petani untuk melakukan replanting ini kedepannya," harap Ferdinal.