Sektor pertanian tak diragukan lagi menjadi lapangan usaha yang mendominasi perekonomian Sumatra Utara dengan kontribusi rata-rata di atas 20% setiap tahun. Namun, pertumbuhan sektor ini amat fluktuatif, bergantung pada harga komoditas khususnya sawit.
Dari data pertumbuhan ekonomi Sumatra Utara tahun 2024 yang sebesar 5,03% (year-on-year), lapangan usaha pertanian, kehutanan, dan perikanan yang didalamnya termasuk subsektor perkebunan sawit tercatat menyumbang kontribusi terbesar terhadap pendapatan domestik regional bruto (PDRB) Sumut tahun tersebut, yakni hingga 24,44%, meningkat dari tahun 2023 yang sebesar 23,59%; maupun dari tahun 2022 yang tercatat 22,97%.
Namun jika melihat dari sisi pertumbuhan, laju pertumbuhan sektor pertanian di tahun 2024 justru terbilang kecil, hanya sekitar 3,73%. Angka pertumbuhan itu jauh di bawah kategori Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum yang tumbuh paling tinggi mencapai 11,98%.
Rendahnya pertumbuhan sektor pertanian yang dalam hal ini dispesifikkan menjadi perkebunan sawit dapat disebabkan oleh sejumlah faktor. Sebagai kawasan dengan komoditas ekspor utama minyak sawit, fluktuasi harga di pasar internasional amat berpengaruh terhadap angka pertumbuhan sektor ini di Sumut.
Laporan perekonomian Kantor Perwakilan (KPw) Bank Indonesia Sumut Triwulan III 2024 menyebut sebanyak 25,9% dari pangsa ekspor komoditas Sumatra Utara dikuasai oleh minyak sawit mentah (CPO). Sejalan dengan tren harga CPO yang membaik, volume ekspor CPO triwulan III 2024 ikut meningkat sebesar 825,3 ton, lebih tinggi dibandingkan capaian triwulan sebelumnya sebesar 700,8 ton.
Namun, salah satu tantangan pertumbuhan ekonomi Sumut ialah kebergantungan pada pasar ekspor, apalagi di tengah tensi politik saat ini yang berpotensi menahan laju pertumbuhan.
Baca Juga
Keberadaan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Sei Mangkei di Simalungun merupakan jawaban Pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dari dalam negeri. KEK Sei Mangkei yang baru beroperasi pada Januari 2015 dikhususkan menjadi pusat penghiliran komoditas khususnya sawit dan karet.
Geliat Pertumbuhan KEK Sei Mangkei
Di masa awal beroperasi, pertumbuhan KEK Sei Mangkei sempat diragukan. Pada tahun 2021, misalnya, tercatat baru ada 5 tenant (pelaku usaha) yang mengisi sekitar 10% lahan kawasan dari luasnya yang hampir 2.000 hektare (ha). Menteri Investasi/ Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) saat itu mengungkapkan bahwa pembangunan infrastruktur jalan dan akses kereta yang belum selesai menjadi kendala pengembangan KEK Sei Mangkei.
Direktur PT Kawasan Industri Nusantara (Kinra) VT Moses Situmorang membenarkan situasi tersebut. Dia mengatakan perkembangan kawasan baru tampak sekitar tahun 2023-2024, atau sejalan dengan selesainya jalur tol yang menghubungkan kawasan dengan Pelabuhan Belawan di Medan dan Pelabuhan Kuala Tanjung. Begitupun dengan akses kereta api yang telah tersedia, memudahkan distribusi bahan baku maupun produk jadi.
Dikatakan Moses, ada 7 (tujuh) perusahaan yang sudah beroperasi di Sei Mangkei sejauh ini, diantaranya ialah Unilever, PT Industri Nabati Lestari (INL), PT Perkebunan Nusantara IV, Alliance World, hingga es krim Aice dengan total tenaga kerja mencapai 5.612 orang per Desember 2024.
Menjelang akhir tahun lalu, KEK Sei Mangkei juga kedatangan investor baru. Tercatat ada 9 perusahaan yang akan membangun pabriknya di kawasan. Dikatakan Moses, 8 diantaranya ialah investor asing (penanaman modal asing/ PMA) seperti Sime Darby Oils, EcoOils, dan Evyap, dengan mayoritas pengolahan CPO.
Arah Penghiliran Sawit Sumut
Salah satu faktor yang bisa mendorong ekonomi wilayah ini ialah peningkatan minyak sawit mentah (CPO) untuk program biodiesel (B40). Hal itu sejalan dengan salah satu fokus pemerintah yakni swasembada energi.
Tungkot Sipayung dalam bukunya Politik Ekonomi Perkelapasawitan Indonesia (2018) menyebut sawit sebagai tanaman yang memiliki beragam produk turunan, mulai dari olefood complex/ oleo pangan (minyak goreng, mentega, specialty fat); oleokimia (deterjen/ sabun dan perawatan tubuh lain); serta biofuel atau bahan bakar.
Analis Kebijakan Ahli Muda Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Sumut Evayanti Panjaitan mengatakan, sejauh ini investasi hilir sawit di Sumut didominasi oleh industri kimia dasar. Unilever di Sei Mangkei disebut Eva menjadi perusahaan yang mengolah turunan sawit tersebut menjadi beragam produk perawatan tubuh mulai dari sabun, pasta gigi, hingga aneka makanan.
“Kalau dari klasifikasi baku lapangan usaha, kodenya 20115 dan itu industri kimia dasar organik dari hasil pertanian,” kata Eva.
Selain itu, lanjutnya, ada pula satu perusahaan asal Korea di Kawasan Industri Medan bernama Choyang Mopoli Samsung Chemical Indonesia yang menggunakan bahan baku dari CPO untuk memproduksi casing sejumlah peralatan elektronik.
Sedangkan penggunaan CPO untuk campuran bahan bakar (biodiesel) disebut Eva sejauh ini masih terbatas pada penggunaan internal perusahaan yang memproduksi.
“Ada satu perusahaan asing yang tengah membangun pabrik biodiesel di Torgamba (Labuhanbatu Selatan). Ini nanti akan jadi penyuplai bahan bakar ramah lingkungan ke beberapa perusahaan, salah satunya Unilever,” jelasnya.
Urgensi Penghiliran Sawit Sumut
Ekonom Sumatra Utara Wahyu Ario Pratomo mengatakan, pertumbuhan ekonomi Sumut yang optimal dapat dicapai dengan memberi nilai tambah (value added) pada sektor pertanian melalui pengembangan industri pengolahan. Dia mengatakan, saat ini penghiliran sektor perkebunan di Sumut masih terbatas pada level turunan dasar.
Dari tiga kawasan strategis yang diperuntukkan untuk hilirisasi, Wahyu menyebut hanya Kawasan Industri Medan yang berkembang, didukung oleh kelengkapan sarana dan fasilitas serta konektivitas. Wahyu menyebut hilirisasi perlu dikembangkan agar industri pengolahan semakin berkembang. Salah satunya dengan mengundang investor asing yang memiliki teknologi tinggi penghiliran produk perkebunan ke Sumut.
“Saya yakin Sumut bisa mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dari capaian saat ini jika industri pengolahan di Sumut mengalami pertumbuhan,” ujarnya.
Senada, Direktur PT Kinra VT Moses Situmorang sebagai pengelola KEK Sei Mangkei mengatakan bahwa penghiliran akan memberi nilai tambah hingga 7,5 kali terhadap produk pertanian. Dia mencontohkan, produksi 50.000 ton CPO jika dijual langsung (misal) dengan harga Rp16.000 per kg hanya akan memberi pemasukan sekitar Rp800 triliun per tahun. Sedangkan menjual produk hilirisasinya bisa memberi pemasukan hingga Rp6.000 triliun sehingga pertumbuhan 8% seperti yang dicanangkan pemerintah diklaim Moses akan bisa terlampau.
Lebih jauh dia menyebut, KEK Sei Mangkei saat ini telah dilengkapi dengan sarana dan fasilitas pendukung kebutuhan industri, termasuk kedekatan akses ke bahan baku (CPO). Moses yakin keberadaan KEK akan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi, tak hanya di Sumatra namun juga nasional.
Namun dia tak memungkiri ada sejumlah hambatan dalam pengembangannya.
“Mengembangkan kawasan ini bisa dikatakan rumit. Investor yang datang membawa standar yang berbeda dengan yang kami sediakan. Belum lagi aturan yang kerap berubah, termasuk gangguan dari ormas (organisasi kemasyarakatan) yang membuat investasi terhambat,” kata Moses.