Bisnis.com, MEDAN - Pelaku usaha ekspor dan impor di Sumatra Utara masih asing dengan layanan Local Currency Settlement (LCS), sistem transaksi perdagangan internasional menggunakan mata uang lokal.
Sejak diluncurkan 2018 lalu, penggunaan LCS masih didominasi oleh sejumlah daerah seperti Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Riau, Bangka Belitung, Batam dan Palembang.
Padahal, geliat transaksi ekspor di Sumatra Utara sedang mengalami tren positif.
Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Sumatra Utara Hendrik Halomoan Sitompul menduga kurangnya sosialisasi terkait manfaat penggunaan LCS menjadi penyebab.
"Karena kami tidak mendapat informasi yang jelas mengenai layanan LCS ini," kata Hendrik kepada Bisnis, Senin (1/11/2021).
Menurut Hendrik, LCS memang strategi yang tepat untuk menekan ketergantungan dan dominasi dolar dalam transaksi perdagangan internasional bagi mata uang Indonesia.
"Jika saat ini betul-betul akan dilakukan dan dalam PIB tidak lagi di-kurs dalam US$, akan sangat bagus. Tidak ketergantungan lagi dengan dollar yang sudah mulai goyah. Lebih riil menggunakan local currency dalam bertransaksi," kata Hendrik.
Asisten Direktur Departemen Pengembangan Pasar Keuangan Bank Indonesia Bayront Yudit Rumondor mengatakan, tingkat pemanfaatan layanan LCS oleh eksportir maupun importir di Sumatra Utara terbilang rendah.
Penggunaan LCS masih didominasi oleh sejumlah daerah seperti Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Riau, Bangka Belitung, Batam dan Palembang.
"Untuk lokasi yang memanfaatkan LCS itu sendiri memang masih didominasi oleh Jakarta," kata Bayront saat menjadi pemateri dalam Pelatihan Wartawan Ekonomi dan Bisnis Kantor Perwakilan Bank Indonesia Sumatra Utara di Hotel Niagara Parapat, Kabupaten Simalungun, Sabtu (30/10/2021).
Bayront sebenarnya menyadari potensi transaksi perdagangan internasional yang dimiliki Sumatra Utara. Provinsi ini dikenal memiliki perkebunan kelapa sawit yang luas. Sedangkan industri sektor ini termasuk yang sudah banyak memanfaatkan LCS. Sayangnya, pemanfaatan masih didominasi oleh industri yang berada di Jakarta dan daerah lain. Bukan Sumatra Utara.
"Tapi memang kalau dari sisi pelaku dan lokasinya itu tadi, masih didominasi oleh Jakarta dan Jawa Barat dan sebagainya. Untuk yang dari Sumatra Utara masih terbatas," katanya.
LCS merupakan skema transaksi antarnegara yang sudah bermitra dengan Indonesia. Yaitu Malaysia, Thailand, Jepang dan Tiongkok. Negara-negara ini sepakat menggunakan masing-masing mata uang lokal dalam transaksi perdagangan bilateral.
LCC bertujuan untuk meredam ketergantungan mata uang lokal terhadap dolar. Bagi Indonesia sendiri, LCS juga masuk dalam rangkaian strategi Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Hal itu tertera dalam Pasal 26 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020 tentang Program PEN.
Menurut Bayront, dolar masih mendominasi mata uang utama dalam perdagangan internasional. Padahal, skala ekonomi dan perdagangan negara-negara Asia seperti Indonesia sedang meningkat. Di samping itu, penggunaan mata uang kawasan masih begitu rendah.
Ketergantungan terhadap dolar dan karakteristik pasar keuangan Indonesia yang masih terbatas menimbulkan risiko besar kala terjadi global shock. Hal ini berpotensi mengancam stabilitas keuangan dalam negeri hingga kerentanan eksternal.
"US$ itu sebagai mata uang utama dalam transaksi perdagangan internasional sangat mendominasi. Termasuk dalam transaksi perdagangan internasional maupun investasi yang ada di Indonesia," ujar Bayront.
Di sisi lain, LCS menawarkan berbagai benefit bagi pelaku pasar. Di antaranya fleksibilitas transaksi dan akses untuk membuka rekening mata uang lokal negara mitra. Kemudian, nasabah LCS juga dapat melakukan remitansi dalam mata uang lokal untuk penerimaan, pengiriman dan pendapatan.
Nasabah juga memeroleh financing dalam mata uang lokal mitra di Indonesia untuk kebutuhan settlement. LCS pun menawarkan direct quotation dan biaya hedging yang relatif rendah. Setelah itu terdapat peluang atau potensi insentif kepabeanan dari Kementerian Keuangan RI melalui Direktorat Jenderal Bea Cukai.
Dalam skema LCS, otoritas masing-masing negara menunjuk bank yang memfasilitasi pembukaan rekening mata uang lokal. Bank fasilitator ini disebut Appointed Cross Currency Dealer (ACCD). Di Indonesia, terdapat belasan bank yang sudah terdaftar sebagai ACCD.
Kembali ke Sumatra Utara. Berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS) setempat, nilai ekspor Sumatra Utara pada Agustus 2021 lalu meningkat hingga US$1,16 miliar atau 16,37 persen dibanding bulan sebelumnya. Sedangkan nilai impor pada periode yang sama juga meningkat sebesar 11,12 persen.
Peningkatan nilai ekspor yang signifikan terjadi pada golongan barang seperti lemak, minyak hewan atau minyak nabati. Golongan barang tersebut meningkat hingga US$105,86 juta atau 23,12 persen. Jika dibanding tahun lalu, peningkatan nilai ekspor pada Agustus 2021 mencapai 69,38 persen.
Masih berdasar data BPS, negara asing yang menjadi tujuan ekspor terbesar pada Agustus 2021 adalah Tiongkok. Nilainya mencapai US$166,18 juta. Tiongkok sendiri merupakan satu di antara negara mitra Indonesia dalam skema LCS.
Menurut data Balai Besar Karantina Pertanian Belawan, minyak kelapa sawit masih menjadi primadona komoditi yang diekspor Sumatra Utara pada September 2021.
Total ada 102 juta kilogram minyak kelapa sawit yang diekspor ke sejumlah negara seperti Rusia, Tiongkok, Australia, Filipina, Algeria, Polandia, Georgia, Senegal, Yunani, Turki, Irak, Mesir, Vietnam dan Estonia. Nilai ekonomis yang diraup dari ekspor komoditi tersebut mencapai Rp1,5 triliun.
Setelah minyak kelapa sawit, komoditi pertanian penyumbang nilai ekonomis ekspor tertinggi pada September 2021 adalah kopi biji sebanyak 5,6 juta kilogram dengan nilai ekonomi mencapai Rp354 miliar.
Intensitas transaksi perdagangan internasional dari Sumatra Utara yang tinggi ternyata tidak diiringi dengan minat para pelaku ekspor dan impor untuk memanfaatkan layanan LCS.