Bisnis.com, BENGKULU – Dosen ahli kelautan Universitas Bengkulu Zamdial Ta'alidin mendesak pemerintah daerah proaktif dalam membangun industri pengolahan ikan tuna di Provinsi Bengkulu.
"Selama ini nelayan di Bengkulu tidak dapat berbuat banyak karena kendali ekspor tuna dipegang Sumatra Barat. Pemerintah perlu membangun industri tuna dan lisensi ekspor di Bengkulu," ungkapnya.
Dia menjelaskan pengekspor ikan asal Sumbar membeli tuna-tuna segar dari nelayan Bengkulu dengan harga Rp30.000 per kilogram. Kemudian mereka menjual ikan itu seharga Rp150.000 per kilogram di pasar ekspor.
"Artinya ada selisih harga lima kali lipat antara nelayan di Bengkulu dan perusahaan pengekspor di Sumbar. Ini menciptakan kesenjangan ekonomi yang jauh sekali," ujarnya.
Bengkulu memiliki garis pantai sejauh 525 kilometer yang merupakan provinsi dengan garis pantai terpanjang se-Indonesia. Daerah ini memiliki dua jenis tuna bernilai mahal yang diminati masyarakat dunia, yaitu tuna sirip kuning dan tuna mata besar.
Di pasar internasional, harga ikan tuna yang bobotnya mencapai 250 kilogram per ekor dapat Rp1,5 miliar. Salah satu negara tujuan ekspor tuna asal Bengkulu adalah Jepang.
Menurut Zamdial, ekonomi Bengkulu memang sudah seharusnya berbasis potensi laut. "Berbagai bahan kajian tentang pembangunan dan pengembangan potensi maritim sudah ada. Pemerintah hanya perlu memberikan fasilitas untuk mengimplementasikan kajian-kajian itu," jelasnya.
Dia menambahkan program peningkatan produksi tuna harus segera dilakukan dengan mengembangkan armada perikanan tangkap. Setelah itu, bangun industri pengolahan dan lisensi ekspor.
"Sejauh ini penguatan kemaritiman yang dilakukan pemerintah baru sebatas kebijakan, belum mengarah kepada implementasi. Karena itu, pemerintah masih harus terus didorong agar dapat memaksimalkan potensi laut tersebut," ucapnya.