Bisnis.com, BATAM – Dinas Tenaga Kerja Kota Batam mencatat ada 48 perusahaan yang tutup selama periode Januari hingga Agustus 2018. Sekitar 6 di antaranya adalah penanam modal asing (PMA), sementara sisanya penanam modal dalam negeri (PMDN).
Secara Spesifik, dalam catatan BP Batam ada 4 PMA yang mengajukan permohonan tutup. Kendati tak menyebut nama masing-masing perusahaan, namun nilai investasi masing-masing adalah US$5 juta, US$1,2 juta, US$1 juta, dan US$200 ribu.
“Rata-rata perusahaan kecil. Total investasinya adalah US$7,4 juta,” ujar Direktur PTSP BP Batam Adie Soegiharto, Sabtu (15/9/2018).
Menurut Adie, keempat perushaan tersebut rata-rata bergerak di bidang perdagangan. Namun, karena produk yang ditawarkan tidak kompetitif ketimbang produk sejenis, akhirnya kalah bersaing dengan pasar.
“Kalau melihat nilainya kecil. Tak signifikan. Gak kompetitif sehingga kalah bersaing,” jelasnya.
Tanpa Melapor
Selain keempat perusahaan itu, ada 2 PMA yang tutup diam-diam, tanpa melapor kepada BP Batam. Keduanya adalah PT Hantong Precision Manufacturing dan PT Nagano Drilube Indonesia.
Daftar ini masih diperpanjang oleh PT Artana Karya Indonesia, sebuah perusahaan milik warga negara Singapura, yang operasionalnya atas nama seorang WNI.
Koordinator Himpunan Kawasan Industri (HKI) Kepri OK Simatupang menekankan, rata-rata investor yang kabur tersebut disebabkan karena kesalahan management dalam mengelola keuangan di dalamnya.
Indikasi ini mencuat karena ketiga perusahaan yang disebut terakhir masih memiliki order pekerjaan dari perusahaan lain di Batam. Setelah ditelusuri, masih ada beberapa piutang yang belum dibayarkan oleh klien terhadap PT Hantong Precision Manufacturing dan PT Nagano Drilube Indonesia.
Sejumlah klien PT Artana Karya Indonesia yang berasal dari Singapura juga sempat datang ke Batam setelah perusahaan tersebut tutup diam-diam. Rencananya, klien tersebut ingin meminta produk pesanan mereka diahulukan, mengingat PT Artana Karya Indonesia masih mengerjakan sejumlah pesanan lainnya.
Kendati masih memiliki piutang yang belum dibayar dan mengerjakan sejumlah order, namun PT Nagano Drilube tampaknya kesulitan keuangan. Perusahaan ini harus meminta subsidi dari perusahaan induknya di Jepang untuk membayar karyawan, dan harus menyicil biaya sewa ke pengelola kawasan industri.
Regulasi
OK Simatupang menekankan, tutupnya perusahaan asing yang ada di Batam tak ada hubungannya dengan regulasi dan perizinan di Batam. Pemerintah komitmen membenahi proses perizinan untuk mempermudah proses bisnis di Batam. Saat ini sistem pelayanan dan regulasi-regulasi yang diterapkan di Batam sudah jauh lebih mudah.
“Tidak ada yang salah dari regulasi atau pelayanan di kita. Ini semua (kaburnya perusahaan) murni kesalahan management,” ujarnya.
Sementara, bila meninjau Laporan Kegiatan Penanamn Modal (LPKM), perusahaan yang hengkang ini termasuk perusahaan sehat. Biasanya, dalam LKPM perusahaan akan menerangkan realisasi investasi yang telah dilakukan, sumber pembiayaan, penggunaan tenaga kerja dan realiasi produksi.
Laporan tersebut juga memuat kolom permasalahan yang bisa digunakan perusahaan untuk menjabarkan masalah yang dialami selama berinvestasi di Batam. Namun, menurut Adie, kolom tersebut selalu tidak diisi. Sehingga BP Batam mengasumsikan bahwa perusahaan tidak punya masalah apapun selama berinvestasi.
Kendati ada sejumlah PMA yang tutup, baik dengan mengkikuti prosedur atau tidak, namun Adie masih optimis pertumbuhan investasi PMA di Batam terus bertumbuh positif. Hingga semester 1 2018 realisasi investasi di Batam sudah mencapai US$122, 446 juta dalam 38 proyek.
Untuk mendorong pertumbuhan Investasi, BP Batam akan berkomunikasi dengan sejumlah Investor yang berencana menanamkan modal di Batam, khususnya Investor dengan nilai investasi cukup besar. BP Batam akan mencoba memfasilitasi jika ada kendala dalam rencana realisasi investasinya di Batam.
“Rencana akan ada 20 sampai 30 perusahan besar yang berencana investasi di Batam. Kalau ada kesulitan kita akan coba cari jalan keluarnya,” jelas Adie.
Kalah Saing
Kepala Dinas Tenaga Kerja Kota Batam Rudi Sakyarkirti mengatakan, sejumlah perusahaan di Batam terpaksa tutup karena kalah bersaing. Terutama yang bergerak di sektor usaha pariwisata dan perdagangan.
Rata-rata perusahaan-perusahaan tersebut kalah bersaing dengan sejumlah perusahaan baru yang menawarkan produk sejenis. Perusahaan-perusahaan baru banyak bermunculan dengna produk yang jauh lebih inovatif.
Salah satu perusahaan yang tutup adalah Hotel Goodway. Menurut Rudi, saat ini semua bisnis penginapan tengah berinovasi dan menghadirikan konsep yang moderen dan unik, sehingga banyak wisatawan lebih memilih hotel yang dianggap nyaman.
“Kalah saing sama hotel yang ada saat ini. Jadi tamu sepi sejak beberapa bulan lalu. Makanya mereka memutuskan untuk berhenti beroperasi," jelas Rudi.
Kasus yang sama juga terjadi hampir di semua PMDN yang tutup. Karena tak mampu menawarkan produk yang kompetitif dengan inoavasi-inovasi sesuai tuntutan pasar, akhirnya perusahaan-perusahaan tersebut sepi pesanan dan akhirnya tutup.
Usaha lainnya yang juga kalah bersaing hingga tutup adalah Diskotek Pacific. Diskotek dengan daya tampung hingga 4 ribu orang ini tutup sejak Februari 2018 silam. Mayoritas tamu langganan diskotek ini mencari tempat hiburan lain yang lebih nyaman. Selain itu kondisi ekonomi Batam yang sempat turun di tahun sebelumnya juga turut andil membuat diskotek tersebut tutup.
Pajak Mahal
Ketua Kadin Batam Jadi Rajagukguk menerangkan, kebijakan perpajakan Pemerintah Kota Batam juga turut andil membuat sejumlah usaha di Batam tutup. Alih-alih memberikan insentif saat ekonomi Batam sedang mencoba bangkit, Pemko Batam malah menaikan sejumlah pajak hingga batas Maksimal.
“Kebijakan ini kontraproduktif dengan upaya-upaya kita meningkatkan kembali ekonomi Batam,”ujar Jadi.
Sejumlah pajak yang dinaikan adalah pajak diskotek, Klub Malam, Panti Pijat, Spa dan sejenisnya jadi 35%. Pajak permainan ketangkasan atau gelanggang permainan yang dewasa 50%, pajak pacuan kuda dan balap kendaraan bermotor 20%, dan pajak bowling 15%.
Pengusaha pernah mencoba membebankan pajak tersebut kepada pelanggan.Tapi, pelanggan keberatan dan tak mau lagi datang ke tempat tersebut. Bahkan, sejumlah kontrak kerja yang sudah dijalin pengusaha dengan agen perjalanan wisata yang mendatangkan wisatawan mancanegara diputus karena harga yang terlalu tinggi.
Kondisi ini membuat sejumlah usaha yang mendapat imbas kenaikan pajak harus tutup. Dalam kondisi ekonomi yang mencoba pulih, mereka sudah kesulitan untuk membiayai operasional perusahaan. Dengan kenaikan pajak yang berakibat turunnya kunjugnan ke usaha mereka, maka pendapatan tak mampu menutupi operasional usaha.
Sementara itu pengusaha dengan kemampuan keuangan lebih baik bisa bertahan. Namun laju usahanya terseok-seok. Pasalnya, pengusaha hanya membebankan pajak sesuai tarif sebelum dinaikan, sementara sisanya dibayar dari keuntungan yang didapat.
Menurut Jadi, pemerintah kota harus menunda kenaikan pajak yang sudah disahkan melalui perda No 7 tahun 2017 tersebut.