Bisnis.com, MEDAN – Perkembangan perekonomian di Sumatra Utara yang belum sepenuhnya pulih menjadi tantangan bagi bisnis perbankan.
PT Bank Pembangunan Daerah Sumatera Utara menyatakan bank harus jeli melihat peluang yang ada untuk mempertahankan pertumbuhan. Salah satunya, peluang yang ditawarkan perkembangan teknologi digital.
Menurut Direktur Utama Bank Sumut Edie Rizliyanto, kemajuan teknologi digital dapat dimanfaatkan untuk menjaga kenaikan aset dari berbagai sisi. Edie menjelaskan, sejauh ini, Bank Sumut masih menjadi bank daerah yang terbesar di luar Pulau Jawa.
Baca Juga
“Dari 27 BPD yang ada di Indonesia, bank Sumut ranking 5 dari total aset seperti kredit dan dana pihak ketiga (DPK) dengan nilai sekitar Rp32 triliun. Bank Sumut juga masih jadi BPD yang terbesar di luar pulau Jawa,” kata Edie.
Dia mengatakan, Bank Sumut tengah mengembangan digitalisasi perbankan, baik dari sisi layanan maupun digitalisasi internal. Hal itu dilakukan lewat strategi kolaborasi dengan menggandeng perusahaan layananan keuangan berbasis digital alias financial technology.
“Ke depan, perbankan terancam bisnisnya oleh perusahaan fintech. Kami tidak mau melawan tapi berkolaborasi dan sejauh ini sudah kerja sama dengan 7 fintech terkait pengembangan DPK maupun penyaluran kredit, pembiayaan serta gadai,” ungkapnya.
Upaya tersebut juga menjadi strategi jangka menengah Bank Sumut dalam memperluas pangsa pasar dalam bidang pembiayaan mikro, menengah dan gadai.
Di samping itu, untuk menjaga perkembangan aset, Bank Sumut juga mengatakan akan meningkatkan efisiensi operasional. Pasalnya laju pertumbuhan penyaluran kredit mengalami perlambatan dalam beberapa waktu terakhir.
“Perkembangan makro ekonomi Indonesia juga sangat berpengaruh bagi pertumbuhan bisnis kami, ini tidak hanya untuk Bank Sumut tetapi juga perbankan nasional. Kami akan lakukan efisiensi untuk mencapai rencana bisnis,” tuturnya.
Pada perkembangan lain, Bank Sumut juga masih melanjutkan rencana pemisahan atau spin off unit usaha syariah menjadi anak usaha yang wajib dilakukan oleh perbankan konvensional paling lambat pada 2023.
Proses spin off tersebut telah mulai dilakukan sejak Januari 2017 dengan menggandeng Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) sebagai konsultan dan diperkirakan akan rampung dalam 24 bulan.
Adapun, untuk modal anak anak usaha syariah yang berkisar Rp500 miliar, kata Edie, dapat dipenuhi dari setoran pemerintah provinsi/kabupaten, ataupun pihak ketiga seperti Badan Wakaf.
“Keputusannya itu nanti ditentukan dalam RUPS [Rapat Umum Pemegang Saham],” katanya.
Di luar itu, pihaknya telah melakukan pemetaan untuk sumber daya manusia dan arah bisnis anak usaha syariah yang akan difokuskan pada segmen ritel.
Sebagai Sekjen Asbanda (Asosiasi Perbankan Daerah), Edie menuturkan adanya wacana di tingkat nasional terkait pembentukan bank syariah daerah yang merupakan hasil merger anak usaha syariah BPD.
“Selain rencana spin off, ada juga wacana untuk konversi atau merger syariah. Kami masih belum tahu bagaimana arahnya, kami masih menunggu tambahan rekomendasi dari LPPI, tentunya keputusannya akan kembali kepada pemegang saham,” paparnya.